love in plores!!!

love in plores!!!
kampusQu

Kamis, 17 Februari 2011

Inspirasi Demokrasi Perempuan

Inspirasi Demokrasi Perempuan

SIMPUL - Kita tak perlu minder, dalam persoalan “emansipasi” terutama perempuan, Indonesia terlebih dulu dibandingkan negara-negara eropa. Ratu Sima, adalah salah satunya, ratu yang mampu memimpin rakyat yang dengan budaya patriarki. Kala itu Perancis malah memancung Joan of Arc...

Kita tak perlu minder, dalam persoalan “emansipasi” terutama perempuan, Indonesia terlebih dulu dibandingkan negara-negara eropa. Ratu Sima, adalah salah satunya, ratu yang mampu memimpin rakyat yang dengan budaya patriarki. Kala itu Perancis malah memancung Joan of Arc, yang nota bene pejuang yang membela negaranya dalam perang melawan Inggris. Kita juga punya Ratu Kali Nyamat, pada masa Demak berjaya, dia membela kehormatannya di kalangan laki-laki.

Dia salah satu wanita yang sangat kritis atas pandangan masyarakat yang cenderung terhadap nilai-nilai konservatif, walau belum secara jelas bicara tentang nasionalisme. Kemudian Cut Nyakdin tokoh perempuan dari Aceh yang sampai tua hingga meningal terus berjuang mempertahankan tabah air dari penjajah Belanda. Baru tahun Pada April 1911 terbit sebuah buku di Negara Belanda Door Duisterbis tot Licgh (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku putih dari R.A Kartini seorang wanita kelahiran Kota Rembang Jawa Tengah. Walau usianya tidak sampai setengah abat namun ide-ide dan pemikiran seorang Wanita pertama di Indonesia sangat inspiratif baik bagi kaum wanita sendiri juga kaum pria.

Konsep prinsip keadilan dan semua masyarakat yang setara dan seimbang seperti teory Plato disampaikan juga tercermin dalam surat-surat Kartini. Semua ide dan hasil pemikirannya merupakan kegelisahan melihat posisi wanita ketika itu selalu dinomorduakan. Wanita sama sekali bersentuhan dengan aktivitas yang bersentuhan dengan publik terutama di dalam urusan-urusan pemerintahan.

Membangun bangsa tidak bisa dilakukan hanya oleh seorang laki-laki. Peranan wanita sangat signifikan sekali dalam membangun sumberdaya manusia.

Yang mampu merawan sebuah janin dalam kandungan yang kemudian lahir dan menjadi jabang bayi hanya wanita wang mampu mengurusnya. Letika seorang wanita tidak peduli dengan calon-calon bayi yang ada dikandungnya, akan melahirkan bayi-bayi yang tidak sehat. Maka dengan begitu alan lahir generasi-generasi yang cacat dan lemah baik secara fisik maupun mental. Kalau ini terjadi impian masyarakat Indonesia yang merdeka, damai, mandiri dan sejahtera tidak akan terwujud.


R.A. Kartini merupakan tokoh penting dalam sejarah kelahiran Emansipasi Wanita dalam Negara kita Indonesia, yang kemudian melahirkan istilah kesetaraan gender. Kesetaraan Gender? Meaningly, hal ini bermakna tentang kesetaraan atau persamaan peran antara kaum wanita dan kaum pria dalam berbagai hal. Yang paling menonjol memang dalam hal pekerjaan. Dahulu kala di mana seorang wanita yang kodratnya berada di bawah pria, sangat jarang di antara mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi dan perlakuan yang layak. Karena berdasarkan pemikiran kuno, wanita hanya cukup berada di rumah mengurus dapur, merawat dan melayani suami serta putra-putrinya. Sangat tabu bagi wanita untuk lama-lama berada diluar rumah, apalagi menjadi seorang pemimpin. Tapi sekarang, seiring semakin kerasnya genderang keseteraan gender ini, semakin kuat pula pemikiran itu didobrak habis. Di mana para wanita berlomba untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuanya di dalam berbagai bidang, di mana para ibu rumah tangga yang menjadikan pekerjaan rumah tangganya sebagai pekerjaan sampingan atas posisi mereka di luar sana. Dan semua itu memang mereka lalui dengan proses yang sama yang bisa diperoleh oleh kaum pria.

Misalnya dengan menempuh pendidikan yang tidak jarang juga cukup berkompeten, atau mungkin dengan pembekalan skill melalui kursus-kursus singkat. Dari situ, kaum wanita mulai merasa memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan kaum pria. Mereka pun mulai bersaing tidak hanya dengan kaum wanita lagi, namun mereka telah mulai berani untuk bersaing dengan kaum pria dalam mendapatkan posisi yang sama. Setelah mereka mendapatkan jalan untuk mencapai obsesi mereka, mereka semakin termotivasi untuk medapatkan sesuatu yang lebih, lebih dan lebih. Karirpun mulai menanjak, kodrat pun juga semakin dilupakan. Tak jarang kaum wanita yang teracuni ego ambisiusnya, akan mencoba untuk menghalalkan berbagai cara demi tercapainya obsesi mereka, bahkan bermain-main dengan norma serta prinsip-prinsip spiritualis.

Pada satu sisi, penyetaraan Gender ini memang menguntungkan bagi kaum wanita, di mana mereka memiliki kebebasan untuk meraih cita-citanya, mendapatkan hak untuk diperlakukan sama seperti para kaum pria kebanyakan, serta tidak lagi terkungkung oleh pemikiran-pemikiran kuno yang kodrati. Mereka mulai bebas dan berani dalam mengutarakan pendapat serta mulai menentukan sendiri kemauan atau apapun yang ingin mereka dapatkan. Sehingga kaum wanita mulai naik dan terlihat dipermukaan, mulai merambah pada status kepemimpinan dalam berbagai aspek. Misalnya, mulai dari jabatan sebagai ketua lembaga atau organisasi hingga menjabat sebagai pemimpin negara atau Presiden. Sudah terbukti bahwa perjuangan para pejuang wanita kita benar-benar berhasil dan tidak main-main. Dan patutlah kaum wanita berbangga hati atas apa yang sudah diraihnya. Akan tetapi, penting juga bagi kaum wanita untuk tetap tidak melupakan posisinya, sebagai “tiang” keluarga, sebagai manajer dalam rumah tangganya. Alangkah lebih mulianya apabila wanita-wanita mampu menyeimbangkan fungsinya, fungsi di dalam rumah maupun fungsi di luar rumahnya.


Akan tetapi, pada sisi yang lain, Penyetaraan Gender ini juga mampu menjadi cambuk bagi kaum wanita. Pasalnya, ketika si wanita yang sudah asyik dengan prestasinya., asyik dengan pekerjaannya, merasa dirinya berada di atas sang suami, entah jabatan atau mungkin penghasilan. Kemudian mereka mulai merasa mampu untuk membiayai apapun dengan uangnya, mereka lupa akan keberadaan sang suami yang pada dasarnya berkewajiban unuk membiayai semua kebutuhan keluarganya. Lalu apa yang terjadi? Sang suami mulai tidak dihargai lagi, pertengkaran demi pertengkaran pun mulai dikumandangkan. Sampai pada satu titik kejenuhan yang merujuk pada percerain. Atau mungkin tidak terjadi perceraian, akan tetapi eksploitasi pada kaum wanita malah terjadi di dalam rumahnya sendiri. Dimana sang istri bekerja membanting tulang, sedangkan sang suami hanya berada dirumah dan bersenag-senang dengan keringat sang istri.

Lalu siapa yang patut untuk disalahkan. Kaum wanita?, kaum pria? Atau bahkan penyetaraan Gender ini? Tentu bukan! Tidak ada yang perlu untuk disalahkan, hanya perbaikan dan instropeksi diri yang perlu dilakukan. Perbaikan dalam komunikasi diantara keduanya, perbaikan dalam memantapkan komitmen diantara kedunya, serta kesadaran akan posisi dan kapasitas masing-masing.

Tidak ada salahnya untuk kita mencerna serta memahami ulang makna “Kesetaraan Gender”, khususnya untuk kaum wanita. Di mana mereka menata karirnya, maka di situ pula mereka juga tetap mendahulukan kapasitasnya untuk tetap menjaga rumah tangganya, serta mengkomunikasikan segala sesuatunya dengan keluarga. Sehingga diharapkan untuk tidak terjadi lagi konflik-konflik keluarga yang begitu dramatis. Walau fenomena-fenomena konflik keluarga, seperti perceraian, kekerasan hingga eksploitasi wanita sampai sampai sakarang dan mungkin nanti akan terus ada. Tapi kekuatan ruh RA Kartini dan para kaum pejuang wanita di nusantara ini harus tetap ada berjuangan membangun bangsa ke depan dengan dasar nilai-nilai demokrasi yang berkeadilan dan sejajar antara wanita dan laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar