love in plores!!!

love in plores!!!
kampusQu

Rabu, 19 Oktober 2011

POLA NAFKAH LOKAL ACUAN MENGKAJI KEMISKINAN DI ERA OTONOMI DAERAH: KASUS PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

1. Gambaran Umum

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada 8° - 12° Lintang Selatan dan 118° - 125° Bujur Timur. Secara geografis, NTT terletak di belahan paling Selatan Indonesia. Di bagian barat berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Barat, di sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar, di timur berbatasan dengan Propinsi Makuku dan Negara Timor Lorosae serta di selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Propinsi ini terdiri atas 566 pulau, dimana 246 pulau mempunyai nama dan 320 pulau lainnya belum mempunyai nama, sementara hanya 42 pulau yang berpenghuni dan selebihnya hanya merupakan tempat persinggahan nelayan. Pulau-pulau besarnya antara lain: Pulau Sumba, Sabu, Rote, Ndao, Timor (bagian barat), Flores, Andonara dan pulau-pulau lain di Kepulauan Alor. Luas daratan di propinsi ini 47.349,9 Km² dan luas lautan ± 200.000 Km². Dengan demikian, propinsi ini sebenarnya merupakan daerah kepulauan.

Secara administratif, Propinsi Nusa Tenggara Timur terbagai atas 14 daerah tingkat II, yaitu: Kabupaten Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote-Ndao, Sumba Timur dan Sumba Barat.

Jumlah penduduk di propinsi (tahun 1999) sebesar 3.706.536 jiwa sehingga kepadatan penduduknya relatif jarang yaitu sebesar 8.28 per km². Persebaran penduduk antar kabupatennya, dapat dikatakan tidak seimbang. Kabupaten Sumba Timur mempunyai kepadatan penduduk paling rendah dibanding wilayah lain yaitu 26 jiwa per km². Sebaliknya, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Sikka memiliki kepadatan yang relatif tinggi yaitu 1.379 jiwa per km² dan 148 jiwa per km². Sedangkan kepadatan di kabupaten-kabupaten lain berkisar antara 54-115 jiwa per km².

Salah satu ciri khas di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah keanekaragaman etnis, ada lebih dari 20 ethno-linguistic groups yang tidak memiliki tradisi kebersamaan yang kokoh. Hal ini menyebabkan adanya keterpisahan secara kultural. Keterpisahan ini juga dipengaruhi oleh adanya pembatas-pembatas topografi perbukitan dan pegunungan, serta kondisi kepulauan.

Struktur ekonomi Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2000 bersandar pada sektor pertanian dan jasa pemerintahan. Ini terlihat dari sumbangan setiap sektor terhadap PDRB. Sektor pertanian memberi sumbangan sebesar 37,69 %, yang kemudian diikuti dengan sektor jasa pemerintah sebesar 20,25 %, sektor perdagangan sebesar 14,20 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,76 %, sektor bangunan dan kontruksi sebesar 6,5 %. sedangkan sektor yang lain sumbangannya kurang dari 5%.

Dari data penggunaan lahan, penggunaan lahan untuk ladang/kebun/tegal, padang rumput dan lahan yang tidak diusahakan, sangat dominan. Hal ini mencerminkan budaya nafkah mereka yang mengandalkan usaha tani ladang dan peternakan, sebagai sumber nafkah utamanya. Berdasarkan penggunaan lahannya, Kabupaten Kupang merupakan Kabupaten yang paling mirip dengan gambaran Propinsi NTT sehingga dipilih sebagai salah satu kabupaten Kasus.

Sebaliknya, Kota Kupang merupakan salah satu daerah yang paling berbeda dengan gambaran propinsi. Penggunaan lahan di Kota Kupang, justru didominasi oleh pemukiman dan bangunan untuk usaha. Hal ini dapat dimaklumi karena Kota Kupang merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan aktivitas ekonomi bagi propinsi NTT. Agar dapat melihat keterkaitan (linkage) antara Kota Kupang dengan kabupaten lainnya (hitterland) maka kota Kupang dipilih sebagai daerah kasus.

2. Ekosistem

Sebagai propinsi yang terletak di sebelah selatan garis katulistiwa, tepatnya di 8o – 12o Lintang Selatan dan 118o – 125o Bujur Timur, propinsi ini memiliki iklim yang sangat tipikal. Iklim di propinsi ini dicirikan oleh musim penghujan yang relatif pendek (3-4 bulan dalam setahun), dengan rata-rata curah hujan berkisar 800 – 3000 mm per tahun serta panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (BPS Propinsi NTT, 0000). Suhu minimum dan maksimum berkisar antara 23o – 34o Celcius. Iklim semacam ini menyebabkan propinsi ini cenderung tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering).

Kondisi iklim di atas, ditambah lagi dengan kondisi topografi yang kurang menguntungkan pula. Di semua pulau, topografinya dominan berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Lahan yang relatif datar umumnya memanjang sepanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau perbukitan. Lahan yang memiliki kemiringan di atas 40 % mencapai 35,07 % dari luas seluruh daratan. Begitu pula dengan lahan yang memiliki kemiringan 15-40 % mencapai 35,46 %. Dengan demikian, lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 15 %) hanya sebesar 29,47 % dari luas seluruh daratannya (Pemda Propinsi Nusa Tenggara Timur, 0000).

Jenis tanah di Propinsi NTT meliputi jenis tanah meditarania seluas 1.110.807 ha(23,45 %); Listosol seluas 1.903.184 (40,19 %); Alufial seluas 136.250 ha (2,46 %); Grumusol seluas 136.750 ha (2,88%) dan Regosol seluas 64.250 ha (1,36 %).

Kedalaman tanah (top soil) propinsi ini relatif tipis. Kedalaman tanah yang kurang dari 30 cm mencapai luas 1.938.403 ha (40,49 %), kedalaman 31-60 cm seluas 1.186.801 ha (25,06 %), kedalaman 61-90 cm seluas 199.707 ha (10,55 %) dan yang lebih dari 90 cm hanya seluas 995.489 ha (21,03 %). Dari kedalaman tanah ini terlihat bahwa Propinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh lahan yang memiliki kedalaman tanah di bawah 60 cm (65,55 %). Kendalaman tanah yang tipis ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti struktur batuan induk berupa koral dan tanah yang terbuka karena vegetasi penutup yang sedikit sehingga rentan terhadap erosi.

Kondisi iklim, topografi dan tanah ini menyebabkan vegetasi yang dapat tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur relatif terbatas yang akhirnya memunculkan ekosistem yang unik yang serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan kering. Kondisi ekosistem ini pula yang menyebabkan propinsi NTT memiliki budaya nafkah yang unik, sebagai bentuk adaptasi penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan pembatas bagi usaha-usaha pertaniannya.

Ekosistem Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, yang terletak di Pulau Timor Bagian Barat, dapat dikatakan sama dengan ekosistem Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kondisi kedua daerah yang saling berbatasan ini, dapat dikatakan merupakan cermin dari ekosistem di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

3. Budaya Nafkah

Bila pola penggunaan lahan dianggap sebagai salah satu cerminan budaya nafkah maka budaya nafkah yang dominan di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah budaya tani ladang dan ternak gembala. Hal ini terlihat dari dominannya luas lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2000 (BPS Propinsi NTT, 2001) yang diperuntukkan kebun/ladang/huma (21,30 %) dan penggembalaan ternak (22,70 %). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (25,30 %) dan lahan hutan rakyat (12,60 %).

Penggunaan lahan di Kabupaten Kupang tidak berbeda jauh dengan pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2001, luas lahan yang diperuntukkan kebun/ladang/huma mencapai 91.351 ha atau 12,73 % dan penggembalaan ternak mencapai 116.465 ha atau 16,22 % (BPS Kabuaten Kupang. 2002). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (133.677 ha atau 18,62 %) dan lahan hutan rakyat (54.245 ha atau 7.56 %). Dengan demikian luas ke empat jenis penggunaan lahan tersebut mencapai 395.738 ha atau 55,15 % dari seluruh luas Kabupaten Kupang.

Pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang mencerminkan pola budaya nafkah agro-pastoral. Dalam budaya nafkah agro-pastoral, umumnya mereka menyandarkan sumber nafkahnya pada aktivitas ladang/kebun dan beternak. Salah satu ciri budaya nafkah di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang adalah aktivitas pertanian ladang/kebun umumnya tidak berorientasi pada pasar melainkan berorientasi untuk pemenuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Sementara investasi mereka diwujudkan dalam bentuk usaha peternakan (ekstensif dengan cara penggembalaan).

Bagi sebagian besar penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, ternak merupakan salah satu bentuk investasi sosial. Kepemilikan ternak (terutama ternak sapi dan kuda) mencerminkan status sosial suatu keluarga. Ternak tersebut umumnya digunakan sebagai mas kawin (belis menurut istilah setempat) dan upacara-upacara adat lainnya. Karena ternak sapi dan kuda memiliki nilai sosial yang tinggi maka umumnya jarang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kecuali untuk kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak). Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Manggarai, mereka masih menggunakan ternak kerbau sebagi belis.

Bila diperhatikan lebih dalam pola sumber-nafkah agro-pastoral dapat dikatakan merupakan salah satu cara mereka menjamin ketersediaan pangan secara berlapis-lapis (food secutiry) untuk menghadapi kondisi lingkungan fisik yang kurang bersahabat bagi usaha-usaha pertanian. Dengan pola sumber nafkah semacam ini mereka memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan yaitu:

  1. Penyanggah pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola hidup mereka berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak berorientasi pada pasar).

  2. Bila penyangga pertama runtuh (misal karena ada panceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau dan kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.

  3. Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka mereka masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan bewarna hitam, talas lias, dan lain-lain.

Bentuk ketahanan pangan yang berlapis-lapis ini disadari manfaatnya oleh pemerintah daerah setempat. Kesadaran ini tercermin sejak era pemerintahan Gubernur Ben Mboy (sejak 1984). Bahkan sejak Gubernur Ben Boy, pemerintah daerah memiliki ambisi untuk menambah penyangga pangan berupa kerajinan rakyat. Dengan kerajinan rakyat ini diharapkan dapat menjadi salah satu penyangga pangan tambahan bagi penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dibandingkan dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, pola penggunaan lahan di Kota Kupang terlihat berbeda. Penggunaan lahan di kota ini pada tahun 2000 (BPS Kota Kupang, 2001), didominasi untuk perumahan, lahan pekarangan dan untuk bangunan lain yang mencapai 35,03 % dan tegal/ladang/kebun yang mencapai 53,03 %. Luas lahan untuk padang rumput maupun lahan yang tidak diusahan relatif kecil yaitu masing-masing sebesar 4,61 % dan 3,43 %.

Wilayah Kabupaten Kupang sendiri sebagian besar besar dihuni oleh Suku Dawan (atau disebut pula Suku Atoni), yang menempati sebagian besar wilayah di Pulau Timor Bagian Barat. Selain Suku Dawan, terdapat pula Suku Helong yang menempati wilayah-wilayah yang berbatasan dengan bagian Barat Daya Kota Kupang. Selain kedua suku tersebut, di Kabupaten Kupang terdapat suku Sabu di Pulau Sabu dan beberapa suku kecil di Pulau Rote dan Ndao yang memiliki bahasa dan budaya yang saling berbeda pula. Di Pulau Rote dan Ndao terdapat 18 suku atau kerajaan kecil (Nusak menurut istilah setempat) yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya..

Sebagian besar suku di Kabupaten Kupang ini (bahkan juga di Propinsi Nusa Tenggara) umumnya menganut genealogis teritorial. Mereka percaya bahwa seluruh warga suku sebenarnya merupakan satu asal keturunan, yang memiliki budaya, bahasa dan wilayah adat tertentu.

4. Modal sosial

Pengelolaan wilayah adat ini menjadi wewenang para pemuka adatnya, mulai dari Sonbay (gelar raja untuk Suku Dawan), fetor (setara dengan bupati saat ini) hingga temukung (setara dengan kepala desa). Hubungan antara sonbay dengan para fetor dan temukung-nya sebenarnya relatif longgar (semacam kerajaan paguyuban). Tiap fetor dan temukung dapat dikatakan memiliki kewenangan semi-otonom dalam mengelola lahan adatnya. Dengan demikian, lahan-lahan adat yang ada di Kabupaten Kupang sebenarnya dikuasai oleh para fetor dan temukung. Para fetor dan temukung inilah yang mengatur pemanfaatan lahan adat bagi warga adatnya. Tanah suku yang tidak digarap oleh raja dan fetor dibagikan kepada warga sukunya untuk dijadikan lahan garapan dengan hak pakai (bukan hak milik). Hak pakai inilah yang selanjutnya diwarisi dari orangtua ke anaknya. Jadi secara budaya sebenarnya di Kabupaten Kupang tidak ada kepemilikan lahan secara pribadi. Setiap warga adat berhak menggarap lahan milik sukunya asalnya meminta ijin terlebih dahulu kepada para pemuka adatnya (temukung atau fetor).

PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT DI ERA OTONOMI DAERAH

Krisis moneter yang mengguncang iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat.

Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi Daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada Daerah Kabupaten dan Kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Lahirnya kedua UU ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari Pemerintah Pusat, namun justru Pemerintah Daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. UU ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, Pemerintahan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh.

Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberdayakan ekonomi rakyat di era otonomi daerah ?

Jika disepakati bahwa konsep pemberdayaan didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang memihak pada subyek yaitu masyarakat akar rumput, wong cilik, komunitas paling kecil atau masyarakat yang terorganisasi secara teritorial, maka pemberdayaan (ekonomi rakyat) tidak bisa hanya dikonsepkan dari atas (sentralistis). Pemberdayaan menekankan adanya otonomi komunitas dalam pengambilan keputusan, kemandirian dan keswadayaan lokal, demokrasi dan belajar dari pengalaman sejarah. Esensinya ada pada partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan perubahan masyarakatnya. Partisipasi mampu terwujud jika terdapat pranata sosial di tingkat komunitas yang mampu menampung aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Tanpa adanya pranata sosial dan politik di tingkat komunitas, kelurahan, kecamatan dan kabupaten yang mampu memberikan rakyat akses ke pengambilan keputusan, yang akan diuntungkan hanyalah kalangan bisnis dan kalangan menengah pedesaan serta perkotaan. Kebijakan top down yang didisain untuk menolong rakyat tidak bisa dikatakan mempromosikan perekonomian rakyat karena tidak ada jaminan bahwa rakyatlah yang akan menikmati keuntungannya. Untuk mewujudkan ekonomi rakyat berdaya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah memfasilitasi terbentuknya pranata sosial yang memungkinkan rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan di tingkat kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Apabila ada pranata sosial yang memungkinkan rakyat untuk merumuskan kebutuhan pembangunan mereka dan memetakan potensi serta hambatan yang mereka hadapi dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan mereka, pemerataan kesempatan berusaha akan dengan sendirinya mulai tercipta.

Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang diciptakan oleh Orde Baru adalah lebih merupakan alat kontrol birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan diwujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat desa dan kecamatan bisa dimulai dengan pendemokratisasian pranata sosial dan politik, agar institusi seperti LKMD (di tingkat kelurahan) dan UDKP (di tingkat kecamatan), benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Kalau tidak, perlu difasilitasi pembentukan lembaga baru yang inklusif dan partisipatoris di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk menjadi patner dan penekan birokrasi desa dan kecamatan agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.

Tanpa adanya restrukturisasi kelembagaan di tingkat kelurahan dan kecamatan, maka pemberdayaan ekonomi rakyat sulit terwujud. Contohnya saja, ketika kelembagaan politik yang ada diserahi untuk mengambil keputusan mengenai implementasi program JPS, banyak sekali jatah bantuan yang tidak mencapai target rakyat miskin. Masalahnya karena memang akses informasi dan kedekatan pada kekuasaan politik di desa justru membuat kalangan kelas menengahnya yang menikmati bantuan.

Bagaimana mewujudkan hal tersebut di era perubahan ini ? Jika boleh disebut sebagai masa transisi dari era sentralistis ke era otonomi, yang terjadi adalah “kegelisahan” sebagai akibat belum dipahaminya konsep otonomi secara utuh.

Hasil kunjungan di Kota Yogyakarta dalam rangka kajian kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan mendapati suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam BKM yang setidaknya dalam 2 tahun terakhir sukses mengelola dana lewat proyek P2KP. Kunci sukses kelompok ini ada pada pengelolaanya yang mandiri terlepas dari unsur pemerintahan, selain peran pengelola (pengurus) sangat penting. Sukses dalam arti bagaimana kelembagaan ini mampu menjangkau masyarakat miskin sesuai kriteria yang mereka tetapkan, di sisi lain dana yang dikelola mampu berkembang.

Era otonomi juga telah membawa sejumlah “perubahan” mendasar di aras desa dan kelurahan, khususnya dalam menyikapi program. Perubahan itu terlihat dari tata hubungan antara elite desa (Kades, Lurah, LKMD, LMD, BPD, dsb) dengan unsur-unsur masyarakat. Kasus suatu BKM di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Bina Klitren Mandiri, dibentuk pada tanggal 12 Januari 2002 bertempat di Kantor Kelurahan Klitren. Pembentukan BKM ini terkait dengan program pemerintah yang berjudul Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. BKM dibentuk melalui suatu pertemuan yang dihadiri oleh Lurah Klitren, LKMD beserta pengurus, Ketua-ketua RW, dan wakil-wakil warga (tokoh). Melalui pertemuan tersebut akhirnya terpilih 9 orang sebagai pengurus BKM. Dalam perjalanannya 4 orang kemudian mengundurkan diri karena kesibukan masing-masing yang kemudian digantikan oleh 3 orang, sehingga sampai sekarang pengurus BKM berjumlah 8 orang. Yang menarik untuk disimak adalah pengelolaan BKM ini mandiri terlepas dari unsur-unsur pemerintahan kelurahan. Bahkan dalam struktur organisasinya tergambarkan bahwa kedudukan Lurah, LKMD, dan Ketua BKM adalah sejajar. Namun dalam kerjanya nampak saling mendukung. Misalnya dalam hal pinjaman kepada anggota kelompok, BKM secara rutin memberikan laporan tertulis tentang posisi pinjaman anggota, siapa-siapa saja yang masih menunggak, serta siapa saja yang pinjamannya lancar. Laporan ini telah dimanfaatkan oleh pihak kelurahan dalam melayani kebutuhan penduduk. Seorang penduduk yang minta pelayanan KTP, tetapi ternyata dari laporan BKM memiliki tunggakan pinjaman, bisa ditegur dan diminta melunasi tunggakannya. Ini menarik mengingat BKM adalah unsur masyarakat, sedangkan kelurahan adalah unsur pemerintah, hal yang sama biasa terjadi untuk “memaksa” orang membayar PBB.

Apa kesimpulan dari sepenggal kasus ini ? Jelas bahwa ekonomi rakyat memerlukan perhatian, dukungan, dan kepercayaan dari pemerintah agar mampu berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Mungkin tidak selalu “uang” yang diperlukan, dan kalaupun harus dalam bentuk “uang” kebutuhan mereka jelas berbeda-beda. Hal ini yang penting mendapatkan perhatian. Untuk mengetahui kebutuhan yang berbeda dan beraneka ragam tersebut, mereka mutlak dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Selain menjamin kesesuaian “program” dengan “kebutuhan”, pelibatan masyarakat juga merupakan wujud dari pemberdayaan. Mereka diberi peluang, diberi akses untuk mampu memilih dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Secara formal pemerintah pusat telah memberi peluang melalui otonomi (UU 22/1999), tinggal bagaimana pemerintah daerah mewujudkan hal ini. Semoga.

Selasa, 18 Oktober 2011

DEFENISI ETIKA

C Hill :Prinsip-prinsip yang dipahami mengenai benar atau salah dimana prinsip tsb mengatur tata cara seseorang/ anggota suatu profesi/ tindakan suatu organisasi

Contoh: etika dokter

etika konsultan bisnis keluarga

etika datang kekantor orang lain

Griffin dan Pustay:Suatu pendapat/hal yang dipercaya sesorang tentang benar tidaknya suatu perilaku atau tindakan

Perilaku etis adalah perilaku yang sesuai dengan norma sosialyang diterima pada umumnya (di suatu tempat tertentu)

Prinsip prinsip dalam suatu perusahaan yang mengatur tata cara ,tindakan baik atau buruk seluruh anggota organisasi bisnis tsb.

Penentu perilaku etis

1.Etika pribadi : dari orang tua,sekolah,lingkungan,agama,media.

2.Budaya organisasi: nilai dan norma yang berlaku dan dijalankan karyawan suatu organisasi.

Target kinerja yang tidak sesuai dengan realitas.Contoh target dari parent company ke subsidiary seperti pengiriman pada saat hari raya.(biasanya terkendala.

Berbagai isu etika :

1. Penerapan Peraturan tenaga kerja:besaran gaji,lama bekerja per hari, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja contoh terjadi di Nike,I Pod

  1. Hak azazi :bebas berserikat,mengeluarkan pendapat,berpindah,bebas dari tekanan politik.

Contoh Afsel sebelum tahun 1994

3. Lingkungan: tingkat emisi,pembuangan limbah,kerusakan lingkungan sekitar tempat usaha.

  1. Korupsi (speed money/grease money)

untuk mencegah korupsi di berbagai negara,anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) 1999 memberlakukan Convention on Combating Bribery for Foreign Public Officials in International Business Transactions.:menyogok pegawai negeri merupakan tindakan kriminal.

a. Kewajiban moral MNC menjaga hubungan dengan pemerintah/membela masyarakat setempat.?

Etika dalam Budaya dalam kontex internasional :

A.Bagaimana suatu organisasi memperlakukan karyawannya:

- perlakuan sama,kesempatan sama: dlm penerimaan,promosi

- penggajian sama sesuai standar

B.Bagaimana karyawan bersikap terhadap organisasi

- Konflik kepentingan

- Menjaga kerahasiaan

- Kejujuran

C.Bagaimana karyawan dan perusahaan memperlakukan stakeholders/other economic agents : pelanggan,pesaing,pemegang saham,pemasok,dealer,serikat pekerja

-cara pemasaran dan promosi

-keterbukaan pelaporan keuangan

-pemesanan dan pembelian

-pengiriman

- tawar menawar dan negosiasi

1. Budaya organisasi yang menempatkan keutamaan nilai dan etika.(perlu menyusun kode etik perusahaan)

  1. Memastikan pimpinan yang beretika dan konsisten
  2. Proses pengambilan keputusan yang mempertimbangkan dimensi etika thd stakeholders.
  3. Membangun keberanian moral: berani menolak bila tidak etis

Menjaga perilaku etis lintas batas :

a. Adanya petunjuk tertulis dan seperangkat kode etik (misal Toyota,Siemens,Johnson and Johnson,Nissan Daewoo,Hewlett Packard)

  1. Pelatihan etika (misal jika akan pindah tugas lain daerah/ ke negara lain)
  2. Praktek keseharian dalam organisasi dan budaya perusahaan

Tanggung Jawab Sosial :

Kewajiban-kewajiban yang perlu ditindaklanjuti dalam melindungi dan memberdayakan masyarakat .

1.Pada pelanggan,karyawan,investor

2.Lingkungan :menggunakan bahan yang bisa didaur ulang,limbah harus diminimalkan dampaknya

3. Kesejahteraan sosial pada umumnya

membantu sekolah, museum,klub olahraga,menyediakan sumber air bersih

Menjaga Kepatutan (Kepatuhan) :

· Hukum: mengikuti peraturan regional,nasional dan internasional

· Etika : code of conduct dipauthi karyawan dan perusahaan

· Pemberian philanthropic (menyumbang/hibah untuk sosial)

contoh Merck menyumbang Mectizon di 33 negara menolong menghindari kebutaan akibat gigitan serangga di sekitar sungai

Pendekatan Filosofif Etika :

1. Straw men .sebutan ini dikemukakan oleh para akademisi etika bisnis untuk memperlihatkan kerangka pengambilan keputusan yang ‘kurang pantas’

2. Friedman :doctrine satu2nya kewajiban sosial suatu bisnis adalah meningkatkan keuntungan,asalkan bisnis bertindak sesuai peraturan/hukum yang berlaku

3. Cultural relativism :seseorang harus menyesuaikan/menerapkan etika budaya dimana ia menjalankan bisnisnya.

4. Rights theories :manusia memiliki hak dasar dan kemudahan(privileges) yang melampaui batas dan budaya antar bangsa.(perlu membangun standar etika minimum)

5. Justice theories: Pencapaian distribusi barang dan jasa yang adil .Ketidakadilan masih diperbolehkan apabila menguntungkan semua pihak.

MORAL DAN ETIKA DALAM DUNIA BISNIS

MORAL DAN EKTIKA DALAM DUNIA BISNIS
a. Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang


kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah


tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.


5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.

Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.
III. DUNIA BISNIS
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang.
Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.

KELAS SOSIAL, STATUS SOSIAL DAN PERANAN SOSIAL

1. Definisi Kelas Sosial

Berdasarkan karakteristik Stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Istilah kelas memang tidak selalu memiliki arti yang sama, walaupun pada hakekatnya mewujudkan sistem kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Pengertian kelas sejalan dengan pengertian lapisan tanpa harus membedakan dasar pelapisan masyarakat tersebut.

Kelas Sosial atau Golongan sosial mempunyai arti yang relatif lebih banyak dipakai untuk menunjukkan lapisan sosial yang didasarkan atas kriteria ekonomi.

Jadi, definisi Kelas Sosial atau Golongan Sosial ialah:
Sekelompok manusia yang menempati lapisan sosial berdasarkan kriteria ekonomi.

2. Klasifikasi Kelas Sosial

Pembagian Kelas Sosial terdiri atas 3 bagian yaitu:


Sudahkah Anda pahami betul mengenai pengertian kelas sosial atau golongan sosial? Bagus! Kalau Anda telah memahaminya. Namun, apabila belum paham benar, coba ulangi membacanya sekali lagi. Kalau sudah paham, bagaimana kalau sekarang kita lanjutkan pelajarannya?

Mari, simak dan pahami pengertian Status sosial berikut ini!

3. Pengertian Status Sosial

Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya.

Pada semua sistem sosial, tentu terdapat berbagai macam kedudukan atau status, seperti anak, isteri, suami, ketua RW, ketua RT, Camat, Lurah, Kepala Sekolah, Guru dsbnya.

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem pelapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan ( role). Kedua unsur ini merupakan unsur baku dalam pelapisan masyarakat. Kedudukan dan peranan seseorang atau kelompok memiliki arti penting dalam suatu sistem sosial.

Apa itu sistem sosial ?
Sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik dan tingkah laku individu-individu dalam masyarakat dan hubungan antara individu dan masyarakatnya. Status atau kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kelompok masyarakat.

4. Cara Memperoleh Status

Bagaimana cara individu memperoleh statusnya? Cara-cara memperoleh status atau kedudukan adalah sbb:

a.

Ascribed Status adalah keuddukan yang diperoleh secara otomatis tanpa usaha. Status ini sudah diperoleh sejak lahir.
Contoh: Jenis kelamin, gelar kebangsawanan, keturunan, dsb.

b.

Achieved Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan disengaja.
Contoh: kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur, gubernur, camat, ketua OSIS dsb.

c.

Assigned Status merupakan kombinasi dari perolehan status secara otomatis dan status melalui usaha. Status ini diperolah melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain, atas jasa perjuangan sesuatu untuk kepentingan atau kebutuhan masyarakat.
Contoh: gelar kepahlawanan, gelar pelajar teladan, penganugerahan Kalpataru dsb.

5. Akibat Adanya Status Sosial

Kadangkala seseorang/individu dalam masyarakat memiliki dua atau lebih status yang disandangnya secara bersamaan. Apabila status-status yang dimilikinya tersebut berlawanan akan terjadi benturan atau pertentangan. Hal itulah yang menyebabkan timbul apa yang dinamakan Konflik Status. Jadi akibat yang ditimbulkan dari status sosial seseorang adalah timbulnya konflik status.

Macam-macam Konflik Status:

a.

Konflik Status bersifat Individual:
Konflik status yang dirasakan seseorang dalam batinnya sendiri.


Contoh:

- Seorang wanita harus memilih sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga



- Seorang anak harus memilih meneruskan kuliah atau bekerja.

b.

Konflik Status Antar Individu:
Konflik status yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena status yang dimilikinya.


Contoh:

- perebutan warisan antara dua anak dalam keluarga



- Tono beramtem dengan Tomi gara-gara sepeda motor yang dipinjamnya dari kakak mereka.

c.

Konflik Status Antar Kelompok:
Konflik kedudukan atau status yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.


Contoh:

Peraturan yang dikeluarkan satu departemen bertentangan dengan peraturan departemen yang lain. DPU (Dinas Pekerjaan Umum) yang punya tanggung jawab terhadap jalan-jalan raya, kadang terjadi konflik dengan PLN (Perusahaan LIstrik Negara) yang melubangi jalan ketika membuat jaringan listrik baru. Pada waktu membuat jaringan baru tersebut, kadangkala pula berkonflik dengan TELKOM karena merusak jaringan telpon dan dengan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) karena membocorkan pipa air. Keempat Instansi tersebut akan saling berbenturan dalam melaksanakan statusnya masing-masing.

6. Pengertian Peranan Sosial

a.

Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan).
Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya, maka ia telah menjalankan peranannya.
Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status.
Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan, Contoh:


Achieved Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan disengaja.
Contoh: kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur, gubernur, camat, ketua OSIS dsb.

-

Dalam rumah tangga, tidak ada peranan Ayah jika seorang suami tidak mempunyai anak.

-

Seseorang tidak bisa memberikan surat Tilang (bukti pelanggaran) kalau dia bukan polisi.