love in plores!!!

love in plores!!!
kampusQu

Rabu, 19 Oktober 2011

POLA NAFKAH LOKAL ACUAN MENGKAJI KEMISKINAN DI ERA OTONOMI DAERAH: KASUS PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

1. Gambaran Umum

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada 8° - 12° Lintang Selatan dan 118° - 125° Bujur Timur. Secara geografis, NTT terletak di belahan paling Selatan Indonesia. Di bagian barat berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Barat, di sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar, di timur berbatasan dengan Propinsi Makuku dan Negara Timor Lorosae serta di selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Propinsi ini terdiri atas 566 pulau, dimana 246 pulau mempunyai nama dan 320 pulau lainnya belum mempunyai nama, sementara hanya 42 pulau yang berpenghuni dan selebihnya hanya merupakan tempat persinggahan nelayan. Pulau-pulau besarnya antara lain: Pulau Sumba, Sabu, Rote, Ndao, Timor (bagian barat), Flores, Andonara dan pulau-pulau lain di Kepulauan Alor. Luas daratan di propinsi ini 47.349,9 Km² dan luas lautan ± 200.000 Km². Dengan demikian, propinsi ini sebenarnya merupakan daerah kepulauan.

Secara administratif, Propinsi Nusa Tenggara Timur terbagai atas 14 daerah tingkat II, yaitu: Kabupaten Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote-Ndao, Sumba Timur dan Sumba Barat.

Jumlah penduduk di propinsi (tahun 1999) sebesar 3.706.536 jiwa sehingga kepadatan penduduknya relatif jarang yaitu sebesar 8.28 per km². Persebaran penduduk antar kabupatennya, dapat dikatakan tidak seimbang. Kabupaten Sumba Timur mempunyai kepadatan penduduk paling rendah dibanding wilayah lain yaitu 26 jiwa per km². Sebaliknya, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Sikka memiliki kepadatan yang relatif tinggi yaitu 1.379 jiwa per km² dan 148 jiwa per km². Sedangkan kepadatan di kabupaten-kabupaten lain berkisar antara 54-115 jiwa per km².

Salah satu ciri khas di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah keanekaragaman etnis, ada lebih dari 20 ethno-linguistic groups yang tidak memiliki tradisi kebersamaan yang kokoh. Hal ini menyebabkan adanya keterpisahan secara kultural. Keterpisahan ini juga dipengaruhi oleh adanya pembatas-pembatas topografi perbukitan dan pegunungan, serta kondisi kepulauan.

Struktur ekonomi Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2000 bersandar pada sektor pertanian dan jasa pemerintahan. Ini terlihat dari sumbangan setiap sektor terhadap PDRB. Sektor pertanian memberi sumbangan sebesar 37,69 %, yang kemudian diikuti dengan sektor jasa pemerintah sebesar 20,25 %, sektor perdagangan sebesar 14,20 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,76 %, sektor bangunan dan kontruksi sebesar 6,5 %. sedangkan sektor yang lain sumbangannya kurang dari 5%.

Dari data penggunaan lahan, penggunaan lahan untuk ladang/kebun/tegal, padang rumput dan lahan yang tidak diusahakan, sangat dominan. Hal ini mencerminkan budaya nafkah mereka yang mengandalkan usaha tani ladang dan peternakan, sebagai sumber nafkah utamanya. Berdasarkan penggunaan lahannya, Kabupaten Kupang merupakan Kabupaten yang paling mirip dengan gambaran Propinsi NTT sehingga dipilih sebagai salah satu kabupaten Kasus.

Sebaliknya, Kota Kupang merupakan salah satu daerah yang paling berbeda dengan gambaran propinsi. Penggunaan lahan di Kota Kupang, justru didominasi oleh pemukiman dan bangunan untuk usaha. Hal ini dapat dimaklumi karena Kota Kupang merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan aktivitas ekonomi bagi propinsi NTT. Agar dapat melihat keterkaitan (linkage) antara Kota Kupang dengan kabupaten lainnya (hitterland) maka kota Kupang dipilih sebagai daerah kasus.

2. Ekosistem

Sebagai propinsi yang terletak di sebelah selatan garis katulistiwa, tepatnya di 8o – 12o Lintang Selatan dan 118o – 125o Bujur Timur, propinsi ini memiliki iklim yang sangat tipikal. Iklim di propinsi ini dicirikan oleh musim penghujan yang relatif pendek (3-4 bulan dalam setahun), dengan rata-rata curah hujan berkisar 800 – 3000 mm per tahun serta panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (BPS Propinsi NTT, 0000). Suhu minimum dan maksimum berkisar antara 23o – 34o Celcius. Iklim semacam ini menyebabkan propinsi ini cenderung tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering).

Kondisi iklim di atas, ditambah lagi dengan kondisi topografi yang kurang menguntungkan pula. Di semua pulau, topografinya dominan berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Lahan yang relatif datar umumnya memanjang sepanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau perbukitan. Lahan yang memiliki kemiringan di atas 40 % mencapai 35,07 % dari luas seluruh daratan. Begitu pula dengan lahan yang memiliki kemiringan 15-40 % mencapai 35,46 %. Dengan demikian, lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 15 %) hanya sebesar 29,47 % dari luas seluruh daratannya (Pemda Propinsi Nusa Tenggara Timur, 0000).

Jenis tanah di Propinsi NTT meliputi jenis tanah meditarania seluas 1.110.807 ha(23,45 %); Listosol seluas 1.903.184 (40,19 %); Alufial seluas 136.250 ha (2,46 %); Grumusol seluas 136.750 ha (2,88%) dan Regosol seluas 64.250 ha (1,36 %).

Kedalaman tanah (top soil) propinsi ini relatif tipis. Kedalaman tanah yang kurang dari 30 cm mencapai luas 1.938.403 ha (40,49 %), kedalaman 31-60 cm seluas 1.186.801 ha (25,06 %), kedalaman 61-90 cm seluas 199.707 ha (10,55 %) dan yang lebih dari 90 cm hanya seluas 995.489 ha (21,03 %). Dari kedalaman tanah ini terlihat bahwa Propinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh lahan yang memiliki kedalaman tanah di bawah 60 cm (65,55 %). Kendalaman tanah yang tipis ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti struktur batuan induk berupa koral dan tanah yang terbuka karena vegetasi penutup yang sedikit sehingga rentan terhadap erosi.

Kondisi iklim, topografi dan tanah ini menyebabkan vegetasi yang dapat tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur relatif terbatas yang akhirnya memunculkan ekosistem yang unik yang serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan kering. Kondisi ekosistem ini pula yang menyebabkan propinsi NTT memiliki budaya nafkah yang unik, sebagai bentuk adaptasi penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan pembatas bagi usaha-usaha pertaniannya.

Ekosistem Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, yang terletak di Pulau Timor Bagian Barat, dapat dikatakan sama dengan ekosistem Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kondisi kedua daerah yang saling berbatasan ini, dapat dikatakan merupakan cermin dari ekosistem di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

3. Budaya Nafkah

Bila pola penggunaan lahan dianggap sebagai salah satu cerminan budaya nafkah maka budaya nafkah yang dominan di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah budaya tani ladang dan ternak gembala. Hal ini terlihat dari dominannya luas lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2000 (BPS Propinsi NTT, 2001) yang diperuntukkan kebun/ladang/huma (21,30 %) dan penggembalaan ternak (22,70 %). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (25,30 %) dan lahan hutan rakyat (12,60 %).

Penggunaan lahan di Kabupaten Kupang tidak berbeda jauh dengan pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2001, luas lahan yang diperuntukkan kebun/ladang/huma mencapai 91.351 ha atau 12,73 % dan penggembalaan ternak mencapai 116.465 ha atau 16,22 % (BPS Kabuaten Kupang. 2002). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (133.677 ha atau 18,62 %) dan lahan hutan rakyat (54.245 ha atau 7.56 %). Dengan demikian luas ke empat jenis penggunaan lahan tersebut mencapai 395.738 ha atau 55,15 % dari seluruh luas Kabupaten Kupang.

Pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang mencerminkan pola budaya nafkah agro-pastoral. Dalam budaya nafkah agro-pastoral, umumnya mereka menyandarkan sumber nafkahnya pada aktivitas ladang/kebun dan beternak. Salah satu ciri budaya nafkah di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang adalah aktivitas pertanian ladang/kebun umumnya tidak berorientasi pada pasar melainkan berorientasi untuk pemenuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Sementara investasi mereka diwujudkan dalam bentuk usaha peternakan (ekstensif dengan cara penggembalaan).

Bagi sebagian besar penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, ternak merupakan salah satu bentuk investasi sosial. Kepemilikan ternak (terutama ternak sapi dan kuda) mencerminkan status sosial suatu keluarga. Ternak tersebut umumnya digunakan sebagai mas kawin (belis menurut istilah setempat) dan upacara-upacara adat lainnya. Karena ternak sapi dan kuda memiliki nilai sosial yang tinggi maka umumnya jarang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kecuali untuk kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak). Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Manggarai, mereka masih menggunakan ternak kerbau sebagi belis.

Bila diperhatikan lebih dalam pola sumber-nafkah agro-pastoral dapat dikatakan merupakan salah satu cara mereka menjamin ketersediaan pangan secara berlapis-lapis (food secutiry) untuk menghadapi kondisi lingkungan fisik yang kurang bersahabat bagi usaha-usaha pertanian. Dengan pola sumber nafkah semacam ini mereka memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan yaitu:

  1. Penyanggah pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola hidup mereka berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak berorientasi pada pasar).

  2. Bila penyangga pertama runtuh (misal karena ada panceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau dan kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.

  3. Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka mereka masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan bewarna hitam, talas lias, dan lain-lain.

Bentuk ketahanan pangan yang berlapis-lapis ini disadari manfaatnya oleh pemerintah daerah setempat. Kesadaran ini tercermin sejak era pemerintahan Gubernur Ben Mboy (sejak 1984). Bahkan sejak Gubernur Ben Boy, pemerintah daerah memiliki ambisi untuk menambah penyangga pangan berupa kerajinan rakyat. Dengan kerajinan rakyat ini diharapkan dapat menjadi salah satu penyangga pangan tambahan bagi penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dibandingkan dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, pola penggunaan lahan di Kota Kupang terlihat berbeda. Penggunaan lahan di kota ini pada tahun 2000 (BPS Kota Kupang, 2001), didominasi untuk perumahan, lahan pekarangan dan untuk bangunan lain yang mencapai 35,03 % dan tegal/ladang/kebun yang mencapai 53,03 %. Luas lahan untuk padang rumput maupun lahan yang tidak diusahan relatif kecil yaitu masing-masing sebesar 4,61 % dan 3,43 %.

Wilayah Kabupaten Kupang sendiri sebagian besar besar dihuni oleh Suku Dawan (atau disebut pula Suku Atoni), yang menempati sebagian besar wilayah di Pulau Timor Bagian Barat. Selain Suku Dawan, terdapat pula Suku Helong yang menempati wilayah-wilayah yang berbatasan dengan bagian Barat Daya Kota Kupang. Selain kedua suku tersebut, di Kabupaten Kupang terdapat suku Sabu di Pulau Sabu dan beberapa suku kecil di Pulau Rote dan Ndao yang memiliki bahasa dan budaya yang saling berbeda pula. Di Pulau Rote dan Ndao terdapat 18 suku atau kerajaan kecil (Nusak menurut istilah setempat) yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya..

Sebagian besar suku di Kabupaten Kupang ini (bahkan juga di Propinsi Nusa Tenggara) umumnya menganut genealogis teritorial. Mereka percaya bahwa seluruh warga suku sebenarnya merupakan satu asal keturunan, yang memiliki budaya, bahasa dan wilayah adat tertentu.

4. Modal sosial

Pengelolaan wilayah adat ini menjadi wewenang para pemuka adatnya, mulai dari Sonbay (gelar raja untuk Suku Dawan), fetor (setara dengan bupati saat ini) hingga temukung (setara dengan kepala desa). Hubungan antara sonbay dengan para fetor dan temukung-nya sebenarnya relatif longgar (semacam kerajaan paguyuban). Tiap fetor dan temukung dapat dikatakan memiliki kewenangan semi-otonom dalam mengelola lahan adatnya. Dengan demikian, lahan-lahan adat yang ada di Kabupaten Kupang sebenarnya dikuasai oleh para fetor dan temukung. Para fetor dan temukung inilah yang mengatur pemanfaatan lahan adat bagi warga adatnya. Tanah suku yang tidak digarap oleh raja dan fetor dibagikan kepada warga sukunya untuk dijadikan lahan garapan dengan hak pakai (bukan hak milik). Hak pakai inilah yang selanjutnya diwarisi dari orangtua ke anaknya. Jadi secara budaya sebenarnya di Kabupaten Kupang tidak ada kepemilikan lahan secara pribadi. Setiap warga adat berhak menggarap lahan milik sukunya asalnya meminta ijin terlebih dahulu kepada para pemuka adatnya (temukung atau fetor).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar